Senin, 27 Januari 2014

Akhirnya Milan-ku Menang Lagi.

Pada malam ini, AC Milan akhirnya meraih kemenangan lagi. Ini adalah kemenangan ke-dua di tahun 2014. Lawannya memang tim "ecek-ecek" sih, yaitu Cagliari. Skornyapun tipis, hanya 1-2.

Kemenangan malam ini sangat spesial buat Milan, karena ini adalah momen pertama kalinya dalam musim ini, Milan bisa menang secara beruntun. Terakhir kali Milan merasakan kemenangan beruntun itu bulan April-Mei 2013, pada waktu itu pelatihnya masih om Alegri. Kemenangan semalam juga kemenangan ke-dua milan dilatih oleh om Seedorf. Dengan itu, om Seedorf selalu memetik kemenangan di liga Seri-A bersama Milanku.

Pertandingan malam tadi merupakan pertandingan yang sulit buat Milan begitupun saya hehe. Keliatan sih betapa beratnya beban yang di rasakan pemain-pemain Milan. Itu terlihat sewaktu pertandingan dimulai, pemain Milan tidak dapat berkembang sebagaimana mestinya yang biasa dilakukan oleh tim ini. Sayapun yang menontonnya jadi "ngeri-ngeri" gimana gitu hahaha.

Pada menit-menit awal yaitu di menit 27, petaka itu datang. Oh tidakkkkk, Milanku kebobolan. Saat itu saya hanya bisa gigit jari melihat gawang Milan kebobolan. Kesalahan itu datang berawal dari kiper yaitu Amelia, ngoper ke pemain belakang Milan, tapi gak pake liat-liat orang, main asal ngoper, dan disana ada pemain Cagliari yang berhasil memanfaatkan kesalahan ini, dengan menggocek sedikit, tertipulah pemain belakang dan kiper Milan saat itu.

Ketika Milan tertinggal dulu, para pemain terlihat sangat berusaha untuk membongkar dan mencabik-cabik pemain lawan (ngeri kali bah), tapi kesialan selalu bersama Milan kala itu. Semua pola permainan sudah cukup baik kalo menurut saya, tinggal penyelesaian akhir aja yang masih kurang. Sempat meragukan kemampuan pelatih baru Milan sih, karena emang keliatan kurang bagus strateginya. Selalu terbaca oleh pemain lawan.

Waktu sudah menunjukkan menit 86, udah pesimis sebenernya sih ngeliat Milan. Dalam hati cuma ngomong "yah kalah lagi". Eiitss, tunggu dulu, Milan dikasih kesempatan untuk melakukan tendangan bebas. Pada saat itu Balotelli yang mengeksekusinya. Dan ternyata ?? GOOOOAALLLLLLLL.. Saya teriak sambil meng-tweet di twitter saya dengan kata yang sama yaitu GOOAAALLLLLLL. Alangkah bahagianya saya ketika melihat tendangan bebas Balotelli bersarang di gawang Cagliari. Liukannya Indah dan Menawan (lebay).


Pada saat itu, saya sudah merasa aman, karena sepertinya Milan gak jadi kalah, saya masih mensyukuri apabila Milan harus seri(lagi). Karena menurut saya, lebih baik seri dari pada kalah(lagi). Namun baru saja saya ingin mengambil minum ke dapur, ketika menit ke 88 tiba-tiba........ GOOOOAAALLLLLLLLLLL. Aku teriak lagi, dan aku meng-tweet lagi dengan kata-kata yang sama. Kali ini yang mencetak goal adalah Pazzini, melalui umpan dari tendangan sudut lalu disambar dengan kaki Pazzini dengan telak, bola bersarang lagi di gawang Cagliari.



Pada menit akhir, skor telah berbalik unggul menjadi 2 untuk Milan dan 1 untuk Cagliari. Dengan kemenangan ini, Milan mulai merangkak naik di papan klasemen, sebelumnya peringkat 13 karena berkat kemenangan melawan Cagliari ini, Milan bertengger di peringkat 9. Patut di syukuri setelah melewati masa-masa sulit.

Maka pada akhirnya, Milanku menang lagi. Aku bisa tidur dengan tenang dan nyenyak.
 Goodnight

Senin, 20 Januari 2014

Masyarakat Desa Yang Tidak Lagi Men-Desa

            Di suatu desa bernama Desa Citumenggung di daerah Banten, tempat dimana ibu saya yang biasa saya panggil “mama” di lahirkan. Desa yang nyaman, tenang dan hijau tentunya, menjadi ciri khas hampir seluruh desa di Indonesia termasuk di dunia. Masyarakatnya yang ramah, sederhana dan sopan santun menjadi ciri khas masyarakat di pedesaan. Itu yang membuat saya bahagia ketika berlibur ke kampung mama.

 
sumber : google images

Ketika saya masih berumur sekitar 7  tahun, saya masih mengingat betul bagaimana kondisi desa mama khususnya kondisi masyarakatnya. Disana masih belum banyak penerangan dengan kondisi jalan yang masih berbatu dan kebanyakan rumah masyarakatnya pun masih terbuat dari semacam rotan yang dianyam menjadi dindingnya. Tapi tingkat kebahagiaan mereka masih terlihat baik, tidak pernah saya melihat mereka ada yang cekcok atau membuat keresahan terhadap tetangganya, kondisi ini tentu sangat berbeda dengan kota-kota besar. Untuk tingkat ekonomi mayarakat desa ini memang tidak mewah, akan tetapi kebutuhan hidup mereka sehari-hari selalu tercukupi sehingga tidak ada masyarakat di desa ini yang sampai “mati kelaparan”. Hubungan komunikasi antar pendudukpun sangat baik, sering saya melihat para bapak atau ibu yang saling bertetangga berkumpul bersama dihalaman/pekarangan rumah mereka untuk sekedar berbicara dan ketawa bersama ketika sore datang.
Sewaktu saya berkunjung ke kampung mama, saya selalu sempatkan untuk bertemu dengan kawan sepermainan, saya memiliki teman yang banyak disana, maklum saja karena memang ketika musim liburan sekolah tiba, saya selalu bermain kesini. Saya sangat bahagia ketika bermain bersama teman-teman disini, bermain sepakbola di lapangan tanah yang luas, “babancakan” di sawah sampai berenang di sungai yang airnya selalu mengalir dan tentunya bersih. Sampai suatu saat terlintas di benak saya “saya sangat bahagia tinggal disini”
 
 
sumber : google images

Seiring berjalannya waktu, semua gambaran yang saya sebutkan diatas sudah tidak lagi saya dapatkan saat ini (umur 21 tahun). Ketika saya berkunjung ke kampung mama beberapa waktu lalu, semua jalan telah di aspal dengan rapih dan bersih, terlintas difikiran saya “wah hebat, akhirnya desa ini merasakan pembangunan juga”. Ini terlihat dari sudah sangat ramainya hilir mudik kendaraan yang ada di desa ini. Lalu saya agak terkaget juga ketika melihat hampir seluruh bangunan rumah masyarakatnya yang terbuat dari dinding yang telah disemen dan dihias dengan warna cat yang indah dan pagar yang membatasi antar satu rumah ke rumah lainnya, di dalam fikiranku “wahh gilaaa, pesat sekali perkembangan desa ini”.
Setelah saya bertemu dengan keluarga saya, saya sempatkan untuk menengok teman-teman lama saya, alangkah “syok”-nya saya ketika diberitahukan oleh orang tuanya bahwa teman-teman saya telah kerja di Jakarta semua. Tidak ada satupun teman-teman saya yang masih tersisa di kampung mamaku tercinta ini. “sampai sepenting itukah materi harus di kejar ,sampai harus meninggalkan tanah kelahiran?” Mungkin itu fikiran egois saya saja yang melintas di dalam benak toh saya dengan keluarga saya juga hidup dan tinggal di Jakarta.
Transportasi di desa mamaku ini sudah modern, tidak seperti tempo dulu. Anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar saja sudah bisa membawa sepeda motor. Masyarakat tidak perlu khawatir atau merasa lelas bila harus mobilisasi dari satu tempat ke tempat lainnya, karena banyak tukang ojek yang selalu siap mengantar kemanapun anda pergi. Dalam benak saya berkata “mungkin inilah dampak modernisasi pembangunan” yang selalu diagung-agungkan pemerintah negeri ini, dengan alih-alih menghapuskan ketimpangan atau disparitas antar masyarakat desa dengan perkotaan.
Saya bukannya tidak setuju dengan konsep pembangunan yang dijalankan pemerintah saat ini, yang ingin menghilangkan ketimpangan masyarakat Indonesia yang berkiblat dengan pengukuran teori gini atau kurva gini. Saya hanya menyayangkan, mengapa setiap pembangunan yang dilakukan pemerintah selalu menghapus nilai-nilai lokal wilayah tersebut, seperti misalnya hilangnya budaya masyarakat desa yang dikenal ramah, sopan santun dan selalu berkomunikasi dengan tetangganya. Mungkin itu terlihat sepele, tetapi menurut saya itu sangat besar. Ciri khas masyarakat desa yang telah melekat dari jaman sebelum penjajahan pudar dengan cepat oleh efek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Apa anda berfikir bahwa saya menolak pembangunan itu ? Saya menolak program pemerintah yang bertujuan menghapuskan ketimpangan ?  Saya egois yang hanya melihat dari satu sudut pandang ? Terserah kalian saja ingin memberikan pandangan seperti apa, yang jelas dampak dari program-program yang dilakukan pemerintah hampir sebagian besar membuat mindset pemikiran masyarakat desa yang lebih profit oriented, pola konsumtif dan meninggalkan nilai-nilai lokal. Posted by Luqman Azis

Minggu, 19 Januari 2014

MANUSIA IDAMAN IBUKOTA


MANUSIA IDAMAN IBUKOTA



“Buanglah Sampah Pada Tempatnya”

Mungkin sejak kita duduk di bangku sekolah dasar atau bahkan taman kanak-kanak bila yang pernah mengalaminya seperti saya, tentu tidak asing dengan kata-kata itu. Yap, benar sekali, kata-kata itu sering sekali muncul di buku pelajaran kita atau sekedar poster yang ditempelkan pada dinding/tembok sekolah kita.
Emang apa sih artinya ? Penting banget gak sih ? Ahh cuma tempelan aja kok, sekedar hiasan dinding/tembok. Mungkin banyak para masyarakat umum yang memandang tulisan himbauan tersebut hanya sekedar tulisan, poster atau tempelan yang tidak memiliki nilai yang berarti. Akan tetapi banyak juga masyarakat yang memandang arti yang mendalam tentang himbauan tersebut, karena tetap saja tidak mampu melekatkan ke otak atau lebih jauh lagi ke dalam hati. Itu terlihat dari perilaku masyarakat yang selalu membuang sampah sembarangan.
Jikalau anda melihat pernyataan saya diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya sangat rendah. Itu terlihat dari fakta pada sungai-sungai, kali-kali, gorong-gorong atau “got” yang ada di lingkungan masyarakat banyaknya tumpukan sampah yang berserakan bahkan sampai menghambat aliran air yang mengakibatkan tidak mengalirnya air tersebut dan memberikan dampak yang sangat buruk.

Sumber Google Images 1

Tentu anda sangat melek akan berita pada beberapa waktu ini, mengenai bencana banjir yang ada di Indonesia, seperti Manado dan Ibukota tercinta yaitu Jakarta. Pada tulisan saya ini, saya lebih condong untuk mengkritik kondisi banjir yang ada di Jakarta, karena kebetulan saya berada di lingkungan sekitar Jakarta, sehingga saya dapat melihat dengan mata kepala saya sendiri fakta yang sebenarnya.
“Bapak Presiden kita payah, Bapak Gubernur Jakarta juga payah, masak masalah banjir kaya gini gak pernah bisa diselesaikan, kerjaannya hanya korupsi, politik busuk dan pencitraan”. Eettttt tunggu dulu, kita pasti sudah tidak asing juga kan dengan keluhan-keluhan seperti itu ? Keluhan-keluhan yang keluar dari sesosok manusia yang memiliki mental pecundang, tidak memiliki akal dan fikiran, sangat tidak layak disebut manusia, karena yang dilakukannya hanya mengeluh dan mengeluh. Memangnya dengan anda mengeluh, masalah akan terselesaikan ? Mungkin anda yang merasa manusia yang memiliki mental petarung dan memiliki akal dan fikiran yang dapat menjawabnya.
Menurut saya, permasalahan sampah di Ibu Kota sudah tidak dapat dianggap remeh lagi. Dengan fakta di lapangan membuktikan bahwa salah satu penyebab banjir di Ibukota adalah, tidak mengalirnya aliran sungai besar yang menjadi lintasan air kiriman dari daerah sekitar Jakarta yang bermuara ke laut utara Jakarta, yang diakibatkan oleh pendangkalan pada dasar sungai yang disebabkan menumpuknya sampah-sampah yang dibuang oleh masyarakat yang memiliki mental pecundang yang tidak memiliki akal dan fikiran. Anda tidak percaya ? silahkan anda lihat kali Ciliwung atau sungai lainnya seperti kali Pesanggrahan.

Sumber Google Images 2

Apabila masyarakat Indonesia khususnya Ibu Kota jakarta masih memiliki mental pecundang yang tidak memiliki akal dan fikiran seperti yang disebutkan pada pernyataan saya tadi, jangan pernah berharap Indonesia khususnya Jakarta akan terbebas dari penyakit lama yang selalu kambuh disaat hujan datang. So, apakah anda memiliki kriteria masyarakat idaman ibu kota yang selalu membuang sampah sembarangan ?  Posted by Luqman Azis (Wasekum Litbang HMI Cab. Bogor Kom. FEM)