Senin, 20 Januari 2014

Masyarakat Desa Yang Tidak Lagi Men-Desa

            Di suatu desa bernama Desa Citumenggung di daerah Banten, tempat dimana ibu saya yang biasa saya panggil “mama” di lahirkan. Desa yang nyaman, tenang dan hijau tentunya, menjadi ciri khas hampir seluruh desa di Indonesia termasuk di dunia. Masyarakatnya yang ramah, sederhana dan sopan santun menjadi ciri khas masyarakat di pedesaan. Itu yang membuat saya bahagia ketika berlibur ke kampung mama.

 
sumber : google images

Ketika saya masih berumur sekitar 7  tahun, saya masih mengingat betul bagaimana kondisi desa mama khususnya kondisi masyarakatnya. Disana masih belum banyak penerangan dengan kondisi jalan yang masih berbatu dan kebanyakan rumah masyarakatnya pun masih terbuat dari semacam rotan yang dianyam menjadi dindingnya. Tapi tingkat kebahagiaan mereka masih terlihat baik, tidak pernah saya melihat mereka ada yang cekcok atau membuat keresahan terhadap tetangganya, kondisi ini tentu sangat berbeda dengan kota-kota besar. Untuk tingkat ekonomi mayarakat desa ini memang tidak mewah, akan tetapi kebutuhan hidup mereka sehari-hari selalu tercukupi sehingga tidak ada masyarakat di desa ini yang sampai “mati kelaparan”. Hubungan komunikasi antar pendudukpun sangat baik, sering saya melihat para bapak atau ibu yang saling bertetangga berkumpul bersama dihalaman/pekarangan rumah mereka untuk sekedar berbicara dan ketawa bersama ketika sore datang.
Sewaktu saya berkunjung ke kampung mama, saya selalu sempatkan untuk bertemu dengan kawan sepermainan, saya memiliki teman yang banyak disana, maklum saja karena memang ketika musim liburan sekolah tiba, saya selalu bermain kesini. Saya sangat bahagia ketika bermain bersama teman-teman disini, bermain sepakbola di lapangan tanah yang luas, “babancakan” di sawah sampai berenang di sungai yang airnya selalu mengalir dan tentunya bersih. Sampai suatu saat terlintas di benak saya “saya sangat bahagia tinggal disini”
 
 
sumber : google images

Seiring berjalannya waktu, semua gambaran yang saya sebutkan diatas sudah tidak lagi saya dapatkan saat ini (umur 21 tahun). Ketika saya berkunjung ke kampung mama beberapa waktu lalu, semua jalan telah di aspal dengan rapih dan bersih, terlintas difikiran saya “wah hebat, akhirnya desa ini merasakan pembangunan juga”. Ini terlihat dari sudah sangat ramainya hilir mudik kendaraan yang ada di desa ini. Lalu saya agak terkaget juga ketika melihat hampir seluruh bangunan rumah masyarakatnya yang terbuat dari dinding yang telah disemen dan dihias dengan warna cat yang indah dan pagar yang membatasi antar satu rumah ke rumah lainnya, di dalam fikiranku “wahh gilaaa, pesat sekali perkembangan desa ini”.
Setelah saya bertemu dengan keluarga saya, saya sempatkan untuk menengok teman-teman lama saya, alangkah “syok”-nya saya ketika diberitahukan oleh orang tuanya bahwa teman-teman saya telah kerja di Jakarta semua. Tidak ada satupun teman-teman saya yang masih tersisa di kampung mamaku tercinta ini. “sampai sepenting itukah materi harus di kejar ,sampai harus meninggalkan tanah kelahiran?” Mungkin itu fikiran egois saya saja yang melintas di dalam benak toh saya dengan keluarga saya juga hidup dan tinggal di Jakarta.
Transportasi di desa mamaku ini sudah modern, tidak seperti tempo dulu. Anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar saja sudah bisa membawa sepeda motor. Masyarakat tidak perlu khawatir atau merasa lelas bila harus mobilisasi dari satu tempat ke tempat lainnya, karena banyak tukang ojek yang selalu siap mengantar kemanapun anda pergi. Dalam benak saya berkata “mungkin inilah dampak modernisasi pembangunan” yang selalu diagung-agungkan pemerintah negeri ini, dengan alih-alih menghapuskan ketimpangan atau disparitas antar masyarakat desa dengan perkotaan.
Saya bukannya tidak setuju dengan konsep pembangunan yang dijalankan pemerintah saat ini, yang ingin menghilangkan ketimpangan masyarakat Indonesia yang berkiblat dengan pengukuran teori gini atau kurva gini. Saya hanya menyayangkan, mengapa setiap pembangunan yang dilakukan pemerintah selalu menghapus nilai-nilai lokal wilayah tersebut, seperti misalnya hilangnya budaya masyarakat desa yang dikenal ramah, sopan santun dan selalu berkomunikasi dengan tetangganya. Mungkin itu terlihat sepele, tetapi menurut saya itu sangat besar. Ciri khas masyarakat desa yang telah melekat dari jaman sebelum penjajahan pudar dengan cepat oleh efek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Apa anda berfikir bahwa saya menolak pembangunan itu ? Saya menolak program pemerintah yang bertujuan menghapuskan ketimpangan ?  Saya egois yang hanya melihat dari satu sudut pandang ? Terserah kalian saja ingin memberikan pandangan seperti apa, yang jelas dampak dari program-program yang dilakukan pemerintah hampir sebagian besar membuat mindset pemikiran masyarakat desa yang lebih profit oriented, pola konsumtif dan meninggalkan nilai-nilai lokal. Posted by Luqman Azis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar