Di
suatu desa bernama Desa Citumenggung di daerah Banten, tempat dimana ibu saya
yang biasa saya panggil “mama” di lahirkan. Desa yang nyaman, tenang dan hijau
tentunya, menjadi ciri khas hampir seluruh desa di Indonesia termasuk di dunia.
Masyarakatnya yang ramah, sederhana dan sopan santun menjadi ciri khas
masyarakat di pedesaan. Itu yang membuat saya bahagia ketika berlibur ke kampung
mama.
sumber : google images
Ketika
saya masih berumur sekitar 7 tahun, saya
masih mengingat betul bagaimana kondisi desa mama khususnya kondisi masyarakatnya.
Disana masih belum banyak penerangan dengan kondisi jalan yang masih berbatu
dan kebanyakan rumah masyarakatnya pun masih terbuat dari semacam rotan yang
dianyam menjadi dindingnya. Tapi tingkat kebahagiaan mereka masih terlihat
baik, tidak pernah saya melihat mereka ada yang cekcok atau membuat keresahan
terhadap tetangganya, kondisi ini tentu sangat berbeda dengan kota-kota besar. Untuk
tingkat ekonomi mayarakat desa ini memang tidak mewah, akan tetapi kebutuhan
hidup mereka sehari-hari selalu tercukupi sehingga tidak ada masyarakat di desa
ini yang sampai “mati kelaparan”. Hubungan komunikasi antar pendudukpun sangat
baik, sering saya melihat para bapak atau ibu yang saling bertetangga berkumpul
bersama dihalaman/pekarangan rumah mereka untuk sekedar berbicara dan ketawa
bersama ketika sore datang.
Sewaktu
saya berkunjung ke kampung mama, saya selalu sempatkan untuk bertemu dengan
kawan sepermainan, saya memiliki teman yang banyak disana, maklum saja karena
memang ketika musim liburan sekolah tiba, saya selalu bermain kesini. Saya
sangat bahagia ketika bermain bersama teman-teman disini, bermain sepakbola di
lapangan tanah yang luas, “babancakan” di sawah sampai berenang di sungai yang
airnya selalu mengalir dan tentunya bersih. Sampai suatu saat terlintas di
benak saya “saya sangat bahagia tinggal disini”
sumber : google images
Seiring
berjalannya waktu, semua gambaran yang saya sebutkan diatas sudah tidak lagi
saya dapatkan saat ini (umur 21 tahun). Ketika saya berkunjung ke kampung mama
beberapa waktu lalu, semua jalan telah di aspal dengan rapih dan bersih,
terlintas difikiran saya “wah hebat, akhirnya desa ini merasakan pembangunan
juga”. Ini terlihat dari sudah sangat ramainya hilir mudik kendaraan yang ada
di desa ini. Lalu saya agak terkaget juga ketika melihat hampir seluruh
bangunan rumah masyarakatnya yang terbuat dari dinding yang telah disemen dan
dihias dengan warna cat yang indah dan pagar yang membatasi antar satu rumah ke
rumah lainnya, di dalam fikiranku “wahh gilaaa, pesat sekali perkembangan desa
ini”.
Setelah
saya bertemu dengan keluarga saya, saya sempatkan untuk menengok teman-teman
lama saya, alangkah “syok”-nya saya ketika diberitahukan oleh orang tuanya
bahwa teman-teman saya telah kerja di Jakarta semua. Tidak ada satupun
teman-teman saya yang masih tersisa di kampung mamaku tercinta ini. “sampai
sepenting itukah materi harus di kejar ,sampai harus meninggalkan tanah
kelahiran?” Mungkin itu fikiran egois saya saja yang melintas di dalam benak
toh saya dengan keluarga saya juga hidup dan tinggal di Jakarta.
Transportasi
di desa mamaku ini sudah modern, tidak seperti tempo dulu. Anak kecil yang
masih duduk di sekolah dasar saja sudah bisa membawa sepeda motor. Masyarakat
tidak perlu khawatir atau merasa lelas bila harus mobilisasi dari satu tempat
ke tempat lainnya, karena banyak tukang ojek yang selalu siap mengantar
kemanapun anda pergi. Dalam benak saya berkata “mungkin inilah dampak
modernisasi pembangunan” yang selalu diagung-agungkan pemerintah negeri ini,
dengan alih-alih menghapuskan ketimpangan atau disparitas antar masyarakat desa
dengan perkotaan.
Saya
bukannya tidak setuju dengan konsep pembangunan yang dijalankan pemerintah saat ini, yang
ingin menghilangkan ketimpangan masyarakat Indonesia yang berkiblat dengan pengukuran
teori gini atau kurva gini. Saya hanya menyayangkan, mengapa setiap pembangunan
yang dilakukan pemerintah selalu menghapus nilai-nilai lokal wilayah tersebut,
seperti misalnya hilangnya budaya masyarakat desa yang dikenal ramah, sopan
santun dan selalu berkomunikasi dengan tetangganya. Mungkin itu terlihat sepele,
tetapi menurut saya itu sangat besar. Ciri khas masyarakat desa yang telah
melekat dari jaman sebelum penjajahan pudar dengan cepat oleh efek pembangunan
yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Apa anda berfikir bahwa saya menolak
pembangunan itu ? Saya menolak program pemerintah yang bertujuan menghapuskan
ketimpangan ? Saya egois yang hanya
melihat dari satu sudut pandang ? Terserah kalian saja ingin memberikan
pandangan seperti apa, yang jelas dampak dari program-program yang dilakukan
pemerintah hampir sebagian besar membuat mindset pemikiran masyarakat desa yang
lebih profit oriented, pola konsumtif dan meninggalkan nilai-nilai lokal. Posted
by Luqman Azis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar