Pada beberapa waktu lalu, saya mengalami peristiwa yang selama ini sangat
jarang saya alami. Peristiwa tersebut sangat pahit. Mengapa demikian ? Mudah
saja, karena saya belum pernah merasakan hal sesakit itu sebelumnya. Bukan
peristiwanya yang ingin saya tekankan disini, namun lebih kepada prosesnya
untuk menuju ke peristiwa tersebut.
Sejujurnya, sejak saya kecil (dimulai sejak jaman Sekolah Dasar), saya
terbiasa hidup dalam penuh perencanaan. Tidak detail, namun lebih secara garis
besar. Budaya tersebut tertular dari Ayah saya, seseorang yang sangat saya kagumi.
Beliau selalu mengatakan, hidup itu harus penuh dengan perencanaan. Ya, selalu
itu yang timbul dalam benak saya. Maka tidak heran, jika saya sudah
merencanakan sesuatu, saya akan berusaha untuk mewujudkannya, meskipun harus
mati-matian.
Dimulai perencanaan saya ketika telah lulus Sekolah Dasar (SD), saya
merencanakan untuk melanjutkan pendidikan tingkat Menengah Pertama (SMP), lalu
ke tingkat Menengah Atas (SMA) hingga akhirnya ke Perguruan Tinggi Negeri
sampai pada akhirnya saya memperoleh gelar Sarjana. Semua hasil itu dapar
terwujud berkat perencanaan yang matang, usaha yang keras dalam belajar
mati-matian dan tentunya ibadah yang sangat kuat meskipun intensitas kuatnya
lebih ketika saat hari-hari mendekati penentuan (hari H).
Pada akhirnya, sampai lah kepada momen yang mengecewakan yaitu proses untuk
melanjutkan kemana selanjutnya saya harus berproses setelah menjadi seorang
Sarjana ? Saya menerapkan cara klasik saya, yaitu perencanaan yang matang dan
strategi belajar mati-matian. Namun apa yang terjadi ? Untuk kali ini, cara
klasik saya tidak mampu untuk membantu saya. Lalu, apa yang saya rasakan ?
jujur ketika itu, fikiran dan hati saya bergejolak. Saya kecewa dan cenderung
tidak menerima hal tersebut pada awalnya.
Seiring berjalannya proses waktu setelah kejadian tersebut, ternyata
sedikit banyak telah membuka fikiran saya. Sebagaimanapun hebat dan matangnya
rencana yang kita buat, sebagaimanapun besarnya dan gila-nya usaha yang telah kita
jalankan, kita tidak boleh melupakan peran Sutradara Kehidupan, yaitu Allah.
Tidak melulu otak kiri kita mampu untuk menuntaskan permasalahan tersebut,
terkadang untuk beberapa momen dan ukuran, otak kanan kita dibutuhkan untuk
lebih peka dalam menjawabnya.
Saya mengambil kesimpulan dengan otak kanan saya saat itu (dengan menutup
peran otak kiri saya), Allah tidak ingin saya berhasil saat itu, Allah memiliki
jalan lain untuk saya dalam berproses dalam menjalankan kehidupan yang
sesungguhnya atau nenek moyang orang barat bilang, real life. Lalu
dengan menutup peran otak kanan saya, bagaimana menurut otak kiri saya ketika
itu ? saya merasakan bahwa saya sangat bodoh sekali, saya kalah pintar
dibanding teman-teman saya yang telah berhasil saat itu, saya tidak memiliki
kemampuan sehebat teman-teman saya saat itu. Lalu, buat apa perencanaan dan
usaha yang kuat kalau memang hasilnya tidak bisa ditebak ?
Ya, disanalah letak seni otak kiri dan kanan kita bekerja. Tidak semua hal
atau kejadian itu dapat kita selesaikan dengan otak kiri dan tidak melulu
dengan otak kanan, hal yang bijak adalah dengan menyeimbangkan otak kanan dan
otak kiri kita. Maka hal yang saya simpulkan atas fenomena “tersebut”, menuntut
saya untuk lebih banyak bersyukur dan ikhlas. Karena ketika permasalahan otak
kiri kita telah kita maksimalkan, maka otak kanan pun harus kita maksimalkan.
Tidak semua apa yang kita harapkan dapat terwujud, tanpa izin dan ridho dari
Sutradara Kehidupan, yaitu izin dan ridhonya Allah SWT.
Mungkin sedikit curhatan hati seorang pengembara kehidupan yang baru
merasakan setetes pahitnya kehidupan yang sesungguhnya. Seperti halnya
pengembara ulung lainya, hal ini tidak akan pernah mampu menghentikan langkah
saya untuk terus mencari atau berproses dalam mengeksplorasikan setiap sisi
kehidupan.
-
Luqman Azis