Minggu, 14 Desember 2014

Si Kiri dan Si Kanan


Pada beberapa waktu lalu, saya mengalami peristiwa yang selama ini sangat jarang saya alami. Peristiwa tersebut sangat pahit. Mengapa demikian ? Mudah saja, karena saya belum pernah merasakan hal sesakit itu sebelumnya. Bukan peristiwanya yang ingin saya tekankan disini, namun lebih kepada prosesnya untuk menuju ke peristiwa tersebut.
Sejujurnya, sejak saya kecil (dimulai sejak jaman Sekolah Dasar), saya terbiasa hidup dalam penuh perencanaan. Tidak detail, namun lebih secara garis besar. Budaya tersebut tertular dari Ayah saya, seseorang yang sangat saya kagumi. Beliau selalu mengatakan, hidup itu harus penuh dengan perencanaan. Ya, selalu itu yang timbul dalam benak saya. Maka tidak heran, jika saya sudah merencanakan sesuatu, saya akan berusaha untuk mewujudkannya, meskipun harus mati-matian.
Dimulai perencanaan saya ketika telah lulus Sekolah Dasar (SD), saya merencanakan untuk melanjutkan pendidikan tingkat Menengah Pertama (SMP), lalu ke tingkat Menengah Atas (SMA) hingga akhirnya ke Perguruan Tinggi Negeri sampai pada akhirnya saya memperoleh gelar Sarjana. Semua hasil itu dapar terwujud berkat perencanaan yang matang, usaha yang keras dalam belajar mati-matian dan tentunya ibadah yang sangat kuat meskipun intensitas kuatnya lebih ketika saat hari-hari mendekati penentuan (hari H).
Pada akhirnya, sampai lah kepada momen yang mengecewakan yaitu proses untuk melanjutkan kemana selanjutnya saya harus berproses setelah menjadi seorang Sarjana ? Saya menerapkan cara klasik saya, yaitu perencanaan yang matang dan strategi belajar mati-matian. Namun apa yang terjadi ? Untuk kali ini, cara klasik saya tidak mampu untuk membantu saya. Lalu, apa yang saya rasakan ? jujur ketika itu, fikiran dan hati saya bergejolak. Saya kecewa dan cenderung tidak menerima hal tersebut pada awalnya.
Seiring berjalannya proses waktu setelah kejadian tersebut, ternyata sedikit banyak telah membuka fikiran saya. Sebagaimanapun hebat dan matangnya rencana yang kita buat, sebagaimanapun besarnya dan gila-nya usaha yang telah kita jalankan, kita tidak boleh melupakan peran Sutradara Kehidupan, yaitu Allah. Tidak melulu otak kiri kita mampu untuk menuntaskan permasalahan tersebut, terkadang untuk beberapa momen dan ukuran, otak kanan kita dibutuhkan untuk lebih peka dalam menjawabnya.
Saya mengambil kesimpulan dengan otak kanan saya saat itu (dengan menutup peran otak kiri saya), Allah tidak ingin saya berhasil saat itu, Allah memiliki jalan lain untuk saya dalam berproses dalam menjalankan kehidupan yang sesungguhnya atau nenek moyang orang barat bilang,  real life. Lalu dengan menutup peran otak kanan saya, bagaimana menurut otak kiri saya ketika itu ? saya merasakan bahwa saya sangat bodoh sekali, saya kalah pintar dibanding teman-teman saya yang telah berhasil saat itu, saya tidak memiliki kemampuan sehebat teman-teman saya saat itu. Lalu, buat apa perencanaan dan usaha yang kuat kalau memang hasilnya tidak bisa ditebak ?
Ya, disanalah letak seni otak kiri dan kanan kita bekerja. Tidak semua hal atau kejadian itu dapat kita selesaikan dengan otak kiri dan tidak melulu dengan otak kanan, hal yang bijak adalah dengan menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri kita. Maka hal yang saya simpulkan atas fenomena “tersebut”, menuntut saya untuk lebih banyak bersyukur dan ikhlas. Karena ketika permasalahan otak kiri kita telah kita maksimalkan, maka otak kanan pun harus kita maksimalkan. Tidak semua apa yang kita harapkan dapat terwujud, tanpa izin dan ridho dari Sutradara Kehidupan, yaitu izin dan ridhonya Allah SWT.
Mungkin sedikit curhatan hati seorang pengembara kehidupan yang baru merasakan setetes pahitnya kehidupan yang sesungguhnya. Seperti halnya pengembara ulung lainya, hal ini tidak akan pernah mampu menghentikan langkah saya untuk terus mencari atau berproses dalam mengeksplorasikan setiap sisi kehidupan.


-  Luqman Azis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar